Cari Blog Ini

Selasa, 30 September 2014

TUHAN DALAM PANDANGAN KEJAWEN & HINDU



Semoga semua mahluk berbahagia...

Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”.
DIA adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran

DIA hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari .
Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali.

Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata “PANGENGERAN”, yang artinya “TEMPAT BERNAUNG & BERLINDUNG”, yang di Bali disebut “SWECA”.

Sedang Wujud-NYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapainya dan kata kata tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “TAN KENA KINAYA NGAPA” ( tak dapat disepertikan).

Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA. Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: 

Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), 
Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), 
Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) , 
Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain.

Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai peranan-NYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebut-NYA dengan banyak nama”.

Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya

Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan Ciptaan-NYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya.
Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi ” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada Ciptaan-NYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan: 
Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu.
Artinya:
Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah.
Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu.
Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga  “teratai”  atau “ sekar tunjung ”, yang tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air keruh.
Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya.
Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”. 

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan Ciptaan-Nya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “Adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah Hinduisme, yang monotheisme pantheistis.

Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”.
Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”. 

Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan.

Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”.

Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu.

Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “Api dan Cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “Kaya Geni lan Urube”.

Upaya Mencari Tuhan Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan Ciptaan-NYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk memudahkan pemahaman.




Sebagai contoh pada sebuah kidung Dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut: 

“Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu”, dst.

Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah 
susuh angin (sarang angin), 
ati banyu (hati air), 
galih kangkung (galih kangkung), 
tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), 
gigir panglu (pinggir dari globe), 
wates langit (batas cakrawala),

yang merupakan sesuatu yang“tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan dalam bahasa Jawa “tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu. 

Dengan pengertian “Acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”.

Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan.

Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” 

"Susuh angin" itu “kosong”, 
"ati banyu" pun “kosong”, 
“tapak kuntul nglayang”adalah "kosong" dan 
“batas cakrawala”itu "kosong". 

Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang “kosong” atau“suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya. 

Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. 

Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”. 

Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu

Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”. 

Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu dan keinginan. 

Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman. 

Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”. 

Karena itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja. 

Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? 

Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan “Pemujaan Leluhur”, yang dianggap sebagai “Pengejawantahan Tuhan”. 

Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “lingga yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. 

Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit. 

Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “pranayama” yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta “Sang Hyang Widhi”. 

Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. 

Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. 

Konon, ketika puncak ke “ Hening ” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “ heneng ” atau “ sunya ”, tenggelam dalam suasana “ kedamaian " batin sejati, rasa damai yang akut”, yang dikatakan “ manjing jroning sepi ”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”. 

Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). 

Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. 
Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.

Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan tersebut? 

Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”. 

Karena itulah ketika kita mengawali proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut 
“OM Atma Tattvatma”, 
orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata 
“ Duh Pangeraningsun ”, " Duh ya Allah Gusti ", " Duh Gusti "
yang sebelumnya amat dikenal. 

Namun sebelum Atman kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. 
Kehebatan Energi Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut:
"Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad", 
artinya: 

Dia hanya sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya. 

Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh. 

Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. 

Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak adalah saudara empat yang merupakan unsur penyerta bayi ketika berkembang dalam kandungan hingga lahir yaitu: darah, lamad, air ketuban dan ari-ari. 

Ketika manusia lahir ke dunia, dipercaya bahwa keempat saudara inilah yang menjadi pengikut setia dan senantiasa melindungi.). 

Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna “pelangi”. 
Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana” seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. 
Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya. 
Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya disebut namanya agar ikut membantu. 

Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). 

Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi itu. 

Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst. 

Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara, dst. 

Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda. 

Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. 

Dia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”. 

Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat. 

Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran Hindu. Namun bagi mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau berlajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa”. Dan karena “agama Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas faham, yaitu faham “kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan. []





Rabu, 30 April 2014

Pondasi Hidup untuk menemukan Jiwa Manusia

Pondasi Hidup untuk menemukan Jiwa Manusia
_______________________________________

Manusia memiliki wujud yg sempurna.
Kesempurnaan wujud air, udara, tanah dan api ( materiil ) atau materi hidup = (biology:keilmuan) yang dapat menyatu dan berproses secara sinergi karena dititipi oleh Ruh Hidup yang Suci sehingga mampu berproses secara kimia, fisika, matematis dan hal ini disebut sebagai multi dimensi, dan Ruh Suci menghadirkan Naluri dan indera berpikir atau akal fikiran yang sering disebut Cahaya Muhamad yg memiliki sifat-sifat kejujuran, bertanggung jawab, kebenaran atau Pola pikir Budi Pekerti (MindSet).

MindSet awal yang suci dan bersih yg dibawa Ruh Suci ini dapat terpengaruh atau dipengaruhi oleh proses multi dimensi materi hidup menjadi terbalik sifat-sifatnya menjadi culas, iri dengki, sombong dan berbagai sifat antagonis lainnya.

Untuk itulah Tuhan Semesta Alam menurunkan Kitab-Kitab Nya melalui sarana agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam sebagai Multi Rambu atau penunjuk arah prilaku Hidup yang cenderung mengedepankan Prilaku/Dharma/Akhlak/Attitude menuju kebaikan dan kedamaian.

Spirit, Mind, Body akan bersinergi menjadi kesatuan yang utuh dalam berprilaku menuju surga atau kedamaian yg kekal atau jawa sering menyebutnya dengan istilah Rahsa Punjering Tumindak atau Titah Aktifnya Ruh Suci sebagai landasan Berpikir dan Raga sebagai sarana mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini.

Rahsa atau Perasaan memiliki hukum sebab akibat atau hukum kausal dan ini dapat dicontohkan bilamana kita berbuat sesuatu yg cenderung menguntungkan diri sendiri, keluarga dan Lingkungan di sekitar kita akan merasa sangat damai namun akan merasa sangat tersiksa bilamana kita merugikan orang lain dan berbuat aniaya terhadap diri sendiri.
Maka Siapapun yang menanam kebaikan akan panen kebaikan pula dan siapapun yang menanam keburukan maka akan memanen keburukan pula.

Dan Rahsa inilah yang menjadi Pedoman untuk menemukan sifat dan watak diri dan mencermatinya dengan pikiran ( keilmuan yg multi dimensi ) dalam rangka untuk menemukan jati diri sejati, serta raga berjalan mewujudkannya sbg sarana Hidup di Alam Semesta ini.

Maka Sudahkah kita menemukan Rahsa atau Naluri atau Perasaan Diri ini ???



Minggu, 15 Desember 2013

PENGERTIAN DZIKIR HU-RIP ( HI-DUP/ HA-YU)


PENGERTIAN DZIKIR HURIP
Yen gelem ngudi kaluhurane Urip ing Alam Dunyo tumekane Alam Akhir koyo unine ayat ”Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanataw wafil aakhiroti hasanataw wa qinaa adzaaban naar” , kanti sabenere Manungso kudu mangerteni, lan mapakake opo sabenere Kalimat Syahadat iku, yen ora kaliru koyo kagambarake ing ngisor iki :

” Laa ilaaha illallahu Muhammadur Rasuulullah”   ketemu anane :
1.   HU mujudake anane Nur Illahi ;
2.   RIP mujudake Nur Illahi mujudake anane:
      a. Nur Muhammad,
      b. Asma Alloh ono 99 Asmo lan Sifat Alloh ono 20 Sifat;
3.    Nur Muhammad, Asmo lan Sifat Alloh mujudake anane Alam Dunyo saisine,
       yo   anane Kitab AI Qur’an Nul Karim bebere wujud dadi Jagad Royo, sarine
      Kitab Al Qur’an Nul Karim bebere wujud anane Surat Al Fatikah :

Surat Al Fatikah wujude makna dadi Badan Jasmani kito yo anane Jagad Dumadi, kang samestine isine Jagad Royo iku podo lan memper karo isine Jagad Dumadi yo anane Badan Jasad yo Badan Jasmani kito.

Ing kono Manungso bakal nemahi anane Urip lan Pati, mangerteni sejatine sopo kang Urip lan sopo kang Mati, biso kaematake koyo ngisor iki :

H u r i p :
a. Arahe nunggal nyawiji, anane Tauhid, wujude urip Ikhlas – Sabar, koyo anane napas kito, gegambarane nafas wektu ono sajabane irung iku anane HU, yen wis ono sajerone irung nganti tekan gulu iku anane Allah, bareng ono sajerone dodo lan sateruse iku anane Urip kito soko Kanugrahane Pengeran yo biso kasebut wenange Pengeran wus kanugrahake dadi wenange Umat;

b. Sampurnane margo soko ngabekti marang Kaluargane, ngerteni yen Manungso ora biso wujud tanpo anane Bopo-Biyung kang kasebut Pengeran Katon, wujude toto – tentrem kasembadan kabutuhane.

c. Mulyane margo wus ketekan kekarepane, wujude biso nunggal marang Jatine Urip soko netepi Pangangen – angene nunggal marang panyuwunan ketemu keluhurane yo mapan ono sajerone Baitullah.